Belajar dari Kesalahan “Berkomentar” di Saat Bencana Terjadi

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Letjen TNI Suharyanto, sempat “dirujak” warganet setelah pernyataannya yang kurang berempati terhadap warga terdampak banjir bandang di Kecamatan Batang Toru, Sumatera Utara. Meski selanjutnya masyarakat mengapreasiasi langkah permintaan maaf dari Kepala BNPB, sejumlah kalangan masih mempertanyaakan permintaan maaf yang seolah hanya ditujukan ke Bupati Tapanuli Selatan, bukan ke para korban.
Publik menilai komunikasi BNPB seharusnya lebih berhati-hati agar tidak menimbulkan persepsi meremehkan penderitaan warga. Pada akhirnya Suharyanto memang melakukan klarifikasi dan langsung melakukan aksi nyata dengan meninjau titik-titik terdampak pada Minggu, 30 November 2025. Aksi BNPB ini sekaligus memberikan bantuan dengan mendirikan tenda pengungsi serta mendistribusikan bantuan sembako kepada warga terdampak.
Permintaan maaf Kepala BNPB terkait bencana Tapanuli Selatan menjadi refleksi penting dalam penanganan kebencanaan di Indonesia. Data korban yang terus bertambah menunjukkan perlunya peningkatan sistem peringatan dini, kesiapsiagaan, serta koordinasi antarinstansi. Ke depannya, BNPB bisa lebih empatik dan memberikan pernyataan yang menentramkan sekaligus transparan dalam melaporkan perkembangan situasi serta langkah-langkah penyelamatan bagi warga terdampak.
Beberapa catatan dari pernyataan Kepala BNPB:
1. Suharyanto mengaku “tidak mengira sebesar ini” dampak di wilayah terdampak, terutama di Tapanuli Selatan, dan menyampaikan permintaan maaf kepada pihak lokal.
2. Suharyanto juga mengakui bahwa banyak unggahan di media sosial yang menggambarkan situasi “mencekam,” dan bahwa realitas di lokasi berbeda dari estimasi awal.
- Tindakan ini mencerminkan sikap jujur dan terbuka — elemen kunci dalam manajemen reputasi dan krisis.
3. Walau kerusakan dan korban besar, Suharyanto menjelaskan bahwa bencana belum ditetapkan sebagai “bencana nasional” karena status kini masih “bencana daerah tingkat provinsi”.
- Penjelasan ini penting dari sisi komunikasi: menetapkan kerangka (frame) resmi, memberikan batasan ekspektasi publik dan media terkait langkah penanganan, serta menjaga ruang koordinasi dengan pemerintah pusat dan daerah.
4. Pernyataan bahwa “tidak ada bedanya penanganan utara, selatan, tengah” memperkuat kesan netralitas, kesetaraan layanan, dan keadilan dalam distribusi bantuan.
- Hal ini penting untuk membangun kepercayaan publik dan legitimasi lembaga di mata masyarakat saat krisis.
Analisis dari Kacamata Public Relations (PR)
Dari sudut PR, respons Kepala BNPB — baik dalam konten pernyataan maupun gaya komunikasi — menunjukkan sejumlah strategi efektif dalam krisis:
- Transparansi dan akuntabilitas: Dengan jujur mengakui kesalahan persepsi awal dan meminta maaf, ia menunjukkan bahwa lembaga siap bertanggung jawab — ini membantu meredam kritik publik dan media.
- Empati dan kemanusiaan: Pernyataan permintaan maaf dan kehadiran langsung di lokasi terdampak menunjukkan empati dan komitmen kemanusiaan — penting agar publik merasa diperhatikan secara manusiawi.
- Keterbukaan informasi dan legitimasi: Melalui konferensi pers dan data korban resmi (jumlah meninggal, hilang, pengungsi, akses terputus, logistik), BNPB menyampaikan informasi kredibel — membantu mencegah disinformasi, hoaks, atau kepanikan publik.
- Koordinasi dan kolaborasi sebagai pesan kunci: Menegaskan bahwa penanganan dilakukan bersama-sama dengan banyak pihak — memberi kesan profesional, terstruktur, dan bukan semata “tanggung jawab satu orang/instansi.”
- Manajemen ekspektasi publik: Dengan menjelaskan status bencana secara resmi dan alasannya, BNPB mengelola harapan publik terhadap penanganan, serta memberi ruang bagi proses berikutnya (evakuasi, evaluasi, rehabilitasi).
Namun, ada juga sisi kritis dari perspektif PR:
- Pengakuan “saya tidak mengira sebesar ini” sekaligus “itu bukan berarti kami tidak peduli” bisa ditafsirkan sebagai kelemahan awal dalam penilaian risiko — meskipun ditutup dengan empati, hal ini bisa memicu pertanyaan publik: apakah ada ‘underestimating risk’ dari awal? Ini bisa mengurangi kepercayaan jika tidak diiringi tindakan konkret dan perbaikan ke depan.
- Keputusan menunda penetapan status “bencana nasional” — meski mungkin berdasar prosedur — bisa dianggap oleh sebagian publik sebagai kurang responsif terhadap skala krisis. Maka penting bagi BNPB untuk proaktif menjelaskan kriterianya dan memberi roadmap penanganan jangka menengah/panjang.
Secara keseluruhan, pernyataan dan langkah-langkah yang dilakukan oleh Suharyanto menunjukkan pola komunikasi krisis yang relatif matang: jujur, empatik, responsif, dan terkoordinasi. Hal ini membantu menjaga kredibilitas lembaga, meredam keresahan publik, dan mengarahkan opini ke “aksi nyata” daripada sekedar retorika. Namun demikian, dalam waktu jangka panjang, penting bagi BNPB untuk:
- Menyampaikan timeline dan roadmap penanganan dan pemulihan — agar publik bisa melihat progres konkret.
- Membuka ruang dialog dan transparansi data terus-menerus, termasuk penyebab bencana, tanggapan mitigasi, serta dukungan/pencegahan ke depan.
- Memperkuat komunikasi proaktif agar persepsi “underestimation risiko” tidak menjadi preseden buruk di masa depan.
Penulis: Aditya Wardhana
