Darurat Public Speaking Para Pemimpin, Karena Kredibilitas Tidak Bisa Didelegasikan

Di era keterbukaan informasi, publik tak lagi hanya menilai sebuah organisasi dari produknya saja, mereka menilai dari siapa yang memimpinnya, dan bagaimana sang pemimpin berbicara. Namun, muncul pertanyaan yang sering kali muncul dalam lingkup strategis: Apakah keterampilan public speaking wajib dimiliki seorang pemimpin, atau cukup diserahkan saja kepada divsi kehumasan atau Public Relations (PR)?
Pertanyaan ini muncul dari semakin banyaknya contoh yang beredar di lini masa. Semakin banyak pejabat dan pemimpin yang gagal mengkomunikasikan maksudnya di hadapan publik. Hal ini akan bergulir menjadi bola salju, tidak hanya menyentuh soal gaya kepemimpinan, tapi juga menyangkut kredibilitas, kepercayaan, dan legitimasi publik.
Pemimpin Harus Bisa Menyampaikannya Sendiri
PR memang memainkan peran penting dalam mengelola komunikasi strategis, tetapi dalam momen-momen krusial (baca: krisis), maka suara pemimpin justru yang paling ditunggu oleh publik. Pemimpin dituntut bisa menjadi opinion leader yakni individu atau organisasi yang merupakan pakar dalam suatu industri atau memiliki pandangan yang dipercaya secara luas. Mereka biasa juga disebut influencer karena dapat memengaruhi opini publik.
Menurut John P. Kotter dalam Leading Change (1996), salah satu faktor kegagalan perubahan organisasi adalah ketidakmampuan pemimpin menyampaikan visi secara langsung dan meyakinkan. Di sinilah public speaking menjadi kompetensi inti, bukan sekadar tambahan.
Kredibilitas Tidak Bisa Didelegasikan
Tim PR dapat menyiapkan naskah, menyusun strategi, dan menyarankan nada bicara. Namun, otentisitas dan emosi dari seorang pemimpin tidak bisa disampaikan melalui orang lain.
Simon Sinek, penulis buku Start With Why, berulang kali menekankan pentingnya keaslian dalam komunikasi kepemimpinan: “People don’t buy what you do, they buy why you do it.” Artinya, publik lebih percaya pada pesan yang datang langsung dari pemimpin—bukan karena isinya saja, tetapi karena siapa yang menyampaikannya.
Saat Krisis, Publik Ingin Melihat Pemimpin, Bukan Juru Bicara
Contoh paling nyata terlihat saat krisis. Dalam berbagai kasus kegagalan reputasi perusahaan, absennya pemimpin di depan publik kerap memperburuk situasi. Ketika pemimpin memilih diam atau “bersembunyi” di balik pernyataan tertulis, kepercayaan publik pun ikut menurun.
Sebaliknya, pemimpin yang hadir secara langsung—walau dengan kata-kata yang sederhana—cenderung lebih dihargai karena menunjukkan tanggung jawab moral dan emosional.
Tapi, Tidak Semua Pemimpin Lahir Sebagai Orator
Penting untuk diingat bahwa tidak semua pemimpin memiliki bakat alami berbicara di depan umum. Di sinilah peran PR menjadi pendukung strategis: melatih, membentuk narasi, dan memberikan simulasi komunikasi yang efektif.
Dalam konteks ini, public speaking bukan soal menjadi “pembicara hebat”, tapi menjadi komunikator yang jujur, jelas, dan relevan. Audiens tidak selalu menuntut gaya pidato seperti orator kelas dunia—mereka hanya ingin melihat pemimpin yang hadir dan bisa mereka percaya.
Kolaborasi, Bukan Substitusi
Public speaking bukanlah keahlian yang bisa sepenuhnya disubstitusi oleh divisi PR. Justru, kombinasi antara kesiapan teknis dari tim komunikasi dan kehadiran otentik dari pemimpin adalah formula yang paling kuat.
Seorang pemimpin tidak harus sempurna dalam berbicara, tetapi harus bersedia hadir dan menyuarakan komitmennya. Karena dalam dunia yang dipenuhi kebisingan informasi, suara pemimpin yang jujur dan konsisten akan selalu terdengar paling jelas.
Penulis: Amad San