Grok: Antara Validasi dan Sindiran dalam Komunikasi Publik Digital

Di era ketika media sosial menjadi panggung utama opini publik, kami sebagai praktisi Public Relations (PR) memerhatikan munculnya pola baru dalam cara audiens berdiskusi dan membentuk persepsi. Salah satunya adalah fenomena menyebut akun @grok, chatbot AI (Artificial Intelligence) milik Elon Musk, dalam berbagai percakapan di platform X (sebelumnya Twitter).
Penyebutan ini tidak hanya bersifat informatif, melainkan juga mengandung lapisan makna: sebagai alat validasi dan sebagai bentuk sindiran halus terhadap pihak lain. Fenomena ini mengingatkan kita bahwa lanskap komunikasi publik terus berkembang, dan AI kini memainkan peran strategis di dalamnya.
Grok dan Otoritas Baru di Ruang Publik
Grok merupakan produk dari xAI yang kini terintegrasi ke dalam X, dan sejak Desember 2024 telah tersedia gratis untuk semua pengguna (Detik INET). Fungsinya mencakup menjawab pertanyaan, merangkum berita, hingga menciptakan gambar berdasarkan teks (Kompas Tekno).
Kehadiran Grok menambah dimensi baru dalam komunikasi publik. Dalam banyak diskusi daring, Grok dianggap sebagai “otak netral” yang bisa diajak bicara, dijadikan rujukan, bahkan diposisikan sebagai hakim atas suatu argumen. Konsep ini berkaitan erat dengan third-party endorsement yang sering kami gunakan dalam praktik PR, yakni menggunakan figur atau entitas yang dianggap objektif untuk menguatkan pesan.
Dua Wajah Penyebutan @grok
Berdasarkan pengamatan kami, penyebutan @grok dalam percakapan di X memiliki dua fungsi dominan:
1. Alat Validasi Otoritatif
Pengguna sering mengandalkan Grok untuk memperkuat klaim mereka. Dalam konteks ini, Grok bertindak sebagai validator independen. Ini merupakan refleksi dari kepercayaan publik terhadap AI sebagai sumber kebenaran.
2. Sindiran Digital
Tak jarang, penyebutan @grok dilakukan dengan nada sarkastik atau pasif-agresif. Contohnya: “Kalau kamu masih tidak percaya, coba tanya @grok.” Ini adalah cara menyudutkan lawan diskusi dengan melibatkan otoritas non-manusia sebagai pembanding.
Implikasi untuk Praktik Public Relations
Fenomena ini menimbulkan sejumlah pertimbangan penting dalam praktik komunikasi dan kehumasan:
AI sebagai Pemain Baru dalam Ekosistem Narasi
AI seperti Grok bukan sekadar alat bantu pencarian informasi, tetapi telah menjadi bagian dari arsitektur opini publik. Organisasi perlu mewaspadai bagaimana AI mengemas dan menyebarkan isu yang berkaitan dengan reputasi mereka.
Pergeseran Pola Validasi Informasi
Jika dulu publik mencari kutipan dari pakar atau media arus utama, kini banyak yang merasa cukup “mendapat kebenaran” hanya dengan menanyakan kepada AI. Ini menantang peran tradisional PR dalam menyampaikan pesan berbasis fakta dan kredibilitas.
Etika Komunikasi dalam Era AI
SEQARA Communications percaya pentingnya menjaga komunikasi yang etis. Menggunakan AI sebagai tameng atau alat sindiran dapat memicu eskalasi konflik dan memperkeruh diskusi, alih-alih membangun dialog yang konstruktif.
Sebuah contoh kasus
Dalam perdebatan mengenai kebijakan lingkungan, seorang pengguna X menulis:
> “Menurut dataku sih kebijakan ini merugikan jangka panjang. Tapi biar fair, yuk kita tanya @grok.”
Unggahan seperti ini tidak hanya menempatkan AI sebagai penengah, tetapi juga mempengaruhi persepsi publik terhadap narasi yang sedang dibahas, bahkan sebelum terjadi klarifikasi dari pihak otoritatif.
PR di Persimpangan Teknologi dan Persepsi
Sebagai bagian dari ekosistem komunikasi strategis, kami melihat bahwa menyebut @grok dalam percakapan digital mencerminkan pergeseran cara publik membentuk dan memvalidasi opini. AI kini bukan hanya mitra kerja teknologi, tetapi juga “karakter” dalam dinamika komunikasi.
Oleh karena itu, peran Public Relations semakin krusial dalam memastikan bahwa pesan-pesan organisasi tetap relevan, kredibel, dan selaras dengan realitas baru, yakni ketika mesin juga ikut bicara.
Penulis: Amad San