Kekuatan Kata-Kata: Bagaimana Perang Tarif Dagang Mengubah Lanskap Ekonomi Global

Perang tarif dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China kembali memuncak di tahun 2025, mencapai titik akhir setelah eskalasi yang dramatis selama beberapa bulan terakhir. Konflik ini dimulai pada Februari 2025, ketika Presiden AS Donald Trump, yang baru dilantik kembali, memberlakukan tarif tambahan sebesar 10% terhadap semua barang impor dari China. Kebijakan ini segera diikuti oleh balasan dari Beijing, yang mengenakan tarif hingga 15% pada berbagai produk AS.
Ketegangan terus meningkat dengan saling balas menaikkan tarif, Trump menaikkan tarif impor menjadi 145% pada April 2025, sementara China membalas dengan kenaikan sebesar 125%. Eskalasi ini mengancam menghancurkan rantai pasok global dan memicu ketidakpastian ekonomi internasional. Dampak dari kebijakan ini terasa nyata: harga barang melonjak, rantai pasok global terganggu, dan ketegangan geopolitik meningkat.
Namun, perang tarif dagang tidak hanya melibatkan angka-angka ekonomi. Di balik layar, komunikasi ekonomi memainkan peran penting sebagai alat diplomasi dan strategi hubungan masyarakat (PR). Kedua negara menggunakan narasi di media untuk mempengaruhi opini publik dan pasar global. Donald Trump sering menggunakan Twitter/ X untuk mengumumkan kebijakan tarif impornya, menciptakan sentimen pasar yang fluktuatif dalam hitungan menit. Sebaliknya, media pemerintah China seperti Xinhua merespons dengan retorika yang menekankan ketahanan ekonomi nasional mereka. Komunikasi ekonomi dalam konteks ini bukan sekadar penyampaian kebijakan, tetapi juga upaya strategis untuk membentuk persepsi publik dan investor.
Pola komunikasi yang digunakan selama perang tarif dagang menunjukkan bagaimana retorika dapat memperkuat atau meredakan konflik. Komunikasi konfrontatif, seperti tweet Trump yang menyebut China sebagai “penipu ekonomi,” memperdalam ketegangan antara kedua negara. Sebaliknya, komunikasi kooperatif melalui pernyataan bersama dalam forum seperti G20 menciptakan harapan pasar meskipun detail kesepakatan belum jelas. Sentimen pasar global seringkali bergerak berdasarkan narasi yang dibangun oleh politisi atau pemberitaan media.
Selain itu, pola komunikasi yang konsisten memiliki kekuatan untuk mengubah sistem ekonomi secara struktural. Retorika proteksionis AS-China mendorong perusahaan multinasional untuk memindahkan pabrik mereka ke negara-negara seperti Vietnam dan India, menggeser pusat manufaktur global dari China. Komunikasi agresif juga mendorong pembentukan blok ekonomi baru seperti CPTPP1 1(Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership), di mana negara-negara seperti Jepang dan Australia memperkuat kemitraan dengan ASEAN sebagai respons terhadap ketegangan AS-China.
Studi kasus menunjukkan bagaimana komunikasi dapat membentuk realitas ekonomi. Misalnya, ketika China memberlakukan tarif pada kedelai AS, petani Amerika mengalami tekanan besar. Pemerintah AS kemudian menggunakan kampanye PR untuk mengalihkan ekspor ke Eropa sambil menekan China melalui narasi tentang penderitaan petani Amerika. Akhirnya, China membeli kedelai AS sebagai bagian dari kesepakatan perdagangan fase pertama. Di sisi lain, CEO Tesla Elon Musk menggunakan X untuk mengkritik tarif China pada mobil listrik, yang mempengaruhi negosiasi pemerintah AS terkait bea masuk baterai lithium.
Perang tarif dagang memberikan pelajaran penting bagi PR modern: komunikasi ekonomi bukan lagi sekadar pendamping kebijakan tetapi inti dari strategi ekonomi itu sendiri. Di era digital ini, PR harus mampu menyampaikan pesan dengan cepat melalui berbagai saluran media tradisional dan digital serta mengelola krisis yang muncul akibat kebijakan proteksionis. Selain itu, membangun narasi positif menjadi kunci untuk menarik investasi dan membuka pasar baru, seperti kampanye “Green Deal” Uni Eropa yang berhasil menarik perhatian investor hijau sekaligus menghindari tarif karbon.
Kesimpulannya, perang tarif dagang antara Amerika Serikat dan China menunjukkan bahwa kata-kata memiliki kekuatan untuk menggerakkan pasar dan menciptakan realitas ekonomi baru. Retorika provokatif dapat memicu proteksionisme, sementara diplomasi inklusif mampu membuka peluang perdagangan baru. Di era algoritma dan viralitas media sosial, kepercayaan yang dibangun melalui komunikasi adalah mata uang paling berharga dalam ekonomi global modern.
1 CCTP Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership atau Perjanjian Komprehensif dan Progresif untuk Kemitraan Trans-Pasifik adalah sebuah perjanjian dagang antara Australia, Brunei, Kanada, Chili, Jepang, Malaysia, Meksiko, Selandia Baru, Peru, Singapura, dan Vietnam.
Penulis: Aryo Meidianto