Fenomena Viral Lebih Cepat Ditanggapi dari Laporan Resmi dari Sudut Pandang PR

Dalam dunia Public Relations (PR) modern, media sosial tidak hanya menjadi kanal komunikasi tambahan, melainkan arena utama dalam mengelola persepsi publik. Fenomena di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bagaimana viralitas isu di media sosial, terutama yang melibatkan influencer, dapat mempengaruhi keputusan institusional lebih cepat daripada jalur administratif formal. Hal ini memunculkan dinamika baru dalam praktik PR, di mana kecepatan informasi dan tekanan publik menjadi faktor dominan dalam penanganan suatu kasus.
Media Sosial sebagai Saluran Komunikasi Krisis
Dalam kajian PR, komunikasi krisis menekankan pentingnya respons cepat, akurat, dan empatik ketika reputasi institusi terancam. Media sosial kini menjadi panggung utama krisis tersebut. Informasi yang menyebar cepat melalui Twitter, Instagram, TikTok, hingga YouTube, menciptakan tekanan yang memaksa institusi merespons demi menghindari eskalasi reputasi negatif (reputational damage).
Teori Situational Crisis Communication Theory (SCCT) yang dikembangkan oleh W. Timothy Coombs menekankan bahwa publik akan menilai kredibilitas organisasi berdasarkan tanggapan awal terhadap krisis. Dalam konteks Indonesia, institusi publik kerap baru bereaksi ketika kasus telah viral dan menuai respons emosional dari publik.
Kasus Viral sebagai Pemicu Respons PR
Beberapa kasus di Indonesia mengonfirmasi bahwa tekanan dari media sosial, yang diperkuat oleh influencer, memicu crisis response dari lembaga pemerintah maupun swasta. Tiga kasus berikut adalah contoh dari sekian banyak kasus yang masih terjadi di bumi Indonesia:
1. Kasus Audrey (2019): Ketika isu perundungan siswi SMP diangkat di Twitter dengan tagar #JusticeForAudrey, kepolisian dan pemerintah daerah cepat tanggap. Meski narasi awal tidak sepenuhnya akurat, tekanan publik menciptakan urgensi komunikasi dan klarifikasi dari pihak berwenang.
2. Baiq Nuril (2018): Dukungan digital dari tokoh publik, aktivis, hingga artis menciptakan narasi publik yang memposisikan Nuril sebagai korban ketidakadilan. Dalam perspektif PR, hal ini menciptakan public framing yang kuat, hingga Presiden turun tangan memberikan amnesti.
3. Kasus ASN Bersuara di TikTok (2023): Seorang guru mengeluhkan gaji dan fasilitas sekolah melalui video yang viral. Respons instansi pendidikan muncul dalam waktu singkat, menunjukkan bagaimana media sosial mempercepat mekanisme issue management yang biasanya memakan waktu.
Influencer sebagai Agen PR Alternatif
Dalam praktik PR, influencer kini dipandang sebagai third-party endorsers yang sangat berpengaruh. Mereka bukan bagian dari lembaga, namun memiliki kredibilitas dan koneksi emosional dengan audiens. Ketika mereka mengangkat isu sosial, mereka menjalankan fungsi PR secara informal: membentuk opini, menciptakan empati, dan menekan lembaga untuk merespons.
Berbagai studi menunjukkan bahwa pesan dari individu yang dianggap otentik lebih dipercaya daripada pesan resmi institusi. Inilah mengapa peran influencer menjadi penting dalam agenda-setting isu-isu sosial.
Kekuatan dan Tantangan PR dalam Era Viral
Dari sudut pandang PR, kekuatan media sosial dan influencer membawa manfaat sekaligus tantangan:
Kekuatan:
- Meningkatkan awareness publik terhadap isu sosial.
- Mempercepat tanggapan institusi terhadap krisis.
- Mendorong transparansi dan akuntabilitas.
Tantangan:
- Risiko misinformation dan penghakiman publik tanpa fakta lengkap.
- Tekanan publik bisa melampaui prosedur hukum atau etika profesional.
- Krisis reputasi bisa muncul bahkan sebelum institusi sempat menjelaskan posisi.
Menata Ulang Strategi PR
Dalam era di mana viralitas sering kali lebih efektif daripada laporan resmi, para praktisi PR dan PR agency termasuk SEQARA Communications di Indonesia perlu mengadopsi pendekatan yang adaptif, responsif, dan berbasis data digital. Social listening, real-time engagement, dan kolaborasi dengan influencer yang kredibel adalah strategi mutakhir yang wajib diintegrasikan.
Namun demikian, institusi tetap harus menjaga prinsip komunikasi etis dan berimbang. Viral tidak selalu berarti benar, dan keadilan yang digerakkan emosi publik tetap harus dikawal melalui narasi yang akurat dan tanggung jawab sosial. Fenomena ini bukan hanya tantangan PR, melainkan juga peluang untuk mengembangkan praktik komunikasi yang lebih partisipatif dan berpihak pada kepentingan publik.
Penulis: Amad San