Ketika FOMO Mengaburkan Batas Etika: Duplikasi Ghibli dan Masa Depan AI

Di tengah demam kecanggihan artificial intelligence (AI) atau kecerdasan artifisial, banyak orang tergoda untuk mengeksplorasi batas-batas kreativitas tanpa peduli konsekuensinya. Salah satu tren yang mencolok belakangan ini adalah penggunaan AI untuk menduplikasi gambar bergaya Studio Ghibli1. Dengan hanya beberapa perintah sederhana, algoritma AI generative mampu menghasilkan ilustrasi yang mirip dengan karya legendaris Hayao Miyazaki dan timnya. Bagi sebagian orang, ini adalah pencapaian teknologi yang mengagumkan; bagi yang lain, ini adalah pelanggaran etika yang tak seharusnya diabaikan.
Fenomena ini tidak hanya sekadar eksperimen teknologi, tetapi juga mencerminkan bagaimana Fear of Missing Out (FOMO)2 mendorong orang untuk mengadopsi AI tanpa mempertimbangkan dampaknya. Banyak yang terpesona oleh kemudahan dan kecepatan AI dalam menciptakan gambar menyerupai Ghibli, lalu membagikannya dengan bangga di media sosial. Namun, di balik antusiasme itu, ada pertanyaan besar: apakah ini bentuk apresiasi atau justru perampasan identitas artistik?
Studio Ghibli sendiri dikenal sangat protektif terhadap karya-karyanya. Miyazaki pernah menyatakan skeptisismenya terhadap AI, bahkan menyebutnya sebagai “penghinaan terhadap kehidupan.” Bagi Ghibli, seni bukan sekadar produk akhir, melainkan buah dari pemikiran, perasaan, dan kerja keras manusia. Ketika AI meniru gaya mereka tanpa pemahaman emosional atau niat artistik yang otentik, yang tercipta hanyalah replika kosong tanpa jiwa.

Lantas, bagaimana seharusnya AI digunakan? Teknologi ini sejatinya memiliki potensi besar untuk membantu manusia, bukan menggantikannya. AI bisa menjadi alat pendukung kreativitas, misalnya dengan membantu proses pewarnaan atau generating rough draft bagi seniman. AI juga bisa digunakan untuk restorasi film-film lama, analisis gaya seni, atau bahkan edukasi dalam memahami teknik animasi. Namun, ketika AI dipakai untuk menjiplak gaya suatu studio tanpa izin bahkan belakangan ditemukan untuk kepentingan komersial, maka AI telah melangkahi etika dan merendahkan nilai seni itu sendiri.
Mungkin inilah saatnya kita berefleksi, teknologi harus hadir sebagai penopang, bukan penghancur kreativitas manusia. Daripada memaksa AI meniru gaya Ghibli, mengapa tidak mengembangkannya untuk menciptakan sesuatu yang orisinal? Bagaimanapun, seni sejati lahir dari keunikan dan kepekaan manusia, sesuatu yang tidak akan pernah bisa sepenuhnya tergantikan oleh mesin.
- Studio Ghibli, Inc. adalah sebuah studio film animasi yang didirikan pada 15 Juni 1985 di Koganei, Tokyo, Jepang oleh Hayao Miyazaki, Isao Takahata, Toshio Suzuki, dan Yasuyoshi Tokuma. Film-film animenya mengandung unsur-unsur provokatif, imajinatif, emosional, dan telah mendapatkan pujian yang luas dari seluruh dunia. ↩︎
- FOMO (akronim dari fear of missing out), takut ketinggalan kereta, takut ketinggalan bus, atau takut kudet merupakan perasaan cemas yang timbul karena sesuatu yang menarik dan menyenangkan sedang terjadi, sering disebabkan karena unggahan di media sosial. ↩︎
Penulis: Aryo Meidianto