Narasi yang Menggerakkan: Saat Storytelling Menjadi Kunci Persepsi Publik

Di era informasi yang bergerak cepat, kekuatan narasi tak lagi bisa dianggap enteng. Dalam dunia kehumasan, storytelling bukan hanya tren—ia adalah senjata strategis yang mampu membentuk opini publik, membangun reputasi, bahkan menyelamatkan citra sebuah institusi dari jurang krisis.
Narasi yang disampaikan dengan tepat tak sekadar menginformasikan, tapi menggerakkan.
Cerita yang Mengikat, Bukan Sekadar Kata-Kata
“Manusia terhubung lewat cerita, bukan data,” ujar Paul Zak, pakar neurosains dari Claremont Graduate University. Dalam penelitiannya, Zak menemukan bahwa otak manusia merespons narasi dengan melepaskan hormon oksitosin—zat kimia yang memperkuat empati dan rasa percaya.
Fakta ini memperkuat anggapan bahwa dalam komunikasi publik, cara menyampaikan pesan jauh lebih penting dari sekadar isi pesan itu sendiri. Angka dan fakta tetap penting, tetapi tanpa konteks naratif yang kuat, semuanya hanya akan menjadi deretan informasi yang cepat dilupakan.
Menyusun Realitas Lewat Narasi
Menurut Peter Berger dan Thomas Luckmann dalam The Social Construction of Reality (1966), realitas sosial tidak tercipta begitu saja. Ia dibentuk lewat interaksi—dan salah satu bentuk interaksi paling berpengaruh adalah narasi.
Public Relations (PR), dalam hal ini, berperan sebagai penyusun “realitas” versi organisasi. Melalui cerita yang dikurasi, organisasi menyampaikan siapa mereka, apa nilai yang mereka pegang, dan mengapa publik harus peduli. Hal ini terlihat nyata saat krisis melanda. Dalam banyak kasus, narasi yang cepat dan otentik bisa memulihkan kepercayaan lebih efektif daripada klarifikasi yang defensif.
Narasi Bukan Karangan Bebas
Dalam praktik PR, storytelling bukan berarti mengarang cerita. Justru sebaliknya: narasi yang berhasil dibangun harus bersumber dari kebenaran, didorong oleh nilai, dan dibentuk dengan empati.
Setidaknya ada empat elemen dasar dalam narasi strategis:
1. Tokoh: Bisa berupa pemimpin, karyawan, pelanggan, atau komunitas.
2. Konflik: Masalah nyata yang dihadapi—semakin relevan, semakin kuat daya tariknya.
3. Transformasi: Perjalanan perubahan atau solusi yang ditawarkan organisasi.
4. Nilai: Pesan moral atau filosofi yang ingin ditegaskan.
Contohnya bisa kita lihat pada kampanye Real Beauty dari Dove. Alih-alih menonjolkan produk, mereka mengangkat kisah perempuan yang berjuang menerima tubuhnya sendiri. Narasi ini tak hanya menciptakan emosi, tapi membentuk identitas brand yang kuat dan konsisten.
Belajar dari Thailand: Narasi yang Menyentuh Hati, Menancap di Ingatan
Salah satu bukti paling kuat kekuatan storytelling dalam membentuk persepsi publik datang dari negeri tetangga Thailand. Iklan-iklan televisi mereka seringkali viral bukan karena efek visual canggih atau selebritas ternama, tetapi karena kemampuannya merangkai cerita yang sederhana dan menggetarkan hati.
Siapa yang bisa lupa iklan tentang penjual makanan jalanan yang diam-diam menyumbangkan uang untuk anak kecil yang mencuri obat untuk ibunya, atau kisah satpam yang diam-diam menjadi pahlawan komunitas? Tanpa promosi produk yang gamblang, cerita-cerita ini meninggalkan kesan mendalam.
Pelajaran bagi praktisi PR? Narasi yang kuat tidak harus mewah. Cukup dengan kejujuran, relevansi, dan nilai kemanusiaan. Cerita yang menyentuh akan lebih diingat daripada pesan promosi yang “sempurna”.
Kisah Gojek dan Wajah Kemanusiaan Teknologi
Di Indonesia, Gojek menjadi contoh bagaimana narasi membentuk identitas dan persepsi publik. Mereka bukan hanya dikenal sebagai platform teknologi, tetapi sebagai simbol pemberdayaan ekonomi.
Kisah para mitra driver, UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) yang terbantu, hingga kontribusi sosial selama pandemi Covid-19, diceritakan dengan pendekatan yang humanis dan konsisten. Gojek tidak menjual fitur, mereka menjual nilai: inklusivitas, dampak sosial, dan kebermanfaatan nyata.
Saat Cerita Jadi Aset Reputasi
Di tengah ledakan informasi digital, organisasi tak bisa lagi mengandalkan komunikasi satu arah. Yang dibutuhkan adalah narasi — jembatan emosional antara brand dan publiknya.
Narasi yang kuat bukan hanya menjelaskan apa yang dilakukan, tapi mengapa hal itu penting. Dalam dunia PR seperti SEQARA Communications, hal itu seringkali menjadi pembeda antara sekadar didengar atau benar-benar dipercaya.
Penulis: Amad San