Peran PR di Tengah Pusaran Keputusan yang Tak Menentu: Kisah di Balik Layar Krisis Komunikasi

Di ruang kerja yang dipenuhi monitor komputer dan dering telepon tak henti, seorang Jubir atau Press Secretary duduk dengan wajah lelah. Tangannya menekan pelipis, mencoba menenangkan denyut kepala yang berdebar. Di layar ponselnya, notifikasi dari akun X (dulu Twitter) @realDonaldTrump – sang presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump – baru saja muncul: “The Fake News Media is the enemy of the American People!”, sebuah cuitan yang pasti akan memicu badai pertanyaan di konferensi pers sore nanti. Dia menarik napas dalam. Postingan “nyeleneh” di media sosial akan menjadi pengubah kebijakan publik, dan hal ini sudah berturut-turut terjadi.
Menjadi ujung tombak komunikasi sebuah institusi apalagi di bawah kepemimpinan yang impulsif seperti Donald Trump bukan sekadar tentang menyusun siaran pers atau menjawab pertanyaan jurnalis. Akan tetapi tentang bagaimana bertahan di tengah pusaran keputusan yang berputar 180 derajat dalam hitungan jam. Suatu pagi, manajemen mungkin menyepakati strategi untuk memenangkan pasar dengan janji perdamaian dagang. Tapi sebelum makan siang, bos utama bisa mengirim tweet yang membatalkan semua kesepakatan itu, menyulut kembali ketegangan dengan China atau NATO. PR team pun harus segera reborn: siaran pers dibatalkan, jadwal wawancara diubah, analisis risiko diperbarui, dan yang paling melelahkan adalah menciptakan narasi baru yang seolah-olah konsisten dengan retorika sebelumnya.
Bayangkan apabila Anda menjadi Sarah Huckabee Sanders atau Kayleigh McEnany, Jubir Gedung Putih era Trump. Suatu hari, mereka harus membela kebijakan imigrasi yang humanis, lalu esok harinya memutar balik argumen karena Trump tiba-tiba menyebut imigran “penjahat” di podium. Kasus lain, saat Trump tanpa peringatan mengumumkan pemutusan hubungan dengan World Health Organization (WHO) di tengah pandemi, padahal tim kesehatan sudah menyiapkan kampanye vaksinasi global. Konsistensi? Itu kata yang hampir tidak ada dalam kamus. PR tidak lagi bekerja dengan rencana tiga bulanan, tapi tiga jam-an.
Belum lagi soal “membersihkan” postingan bos yang kontroversial. Saat Trump menulis “Covid tidak lebih berbahaya dari flu” di X, tim komunikasi harus segera merangkai penjelasan yang tidak menyangkal ucapan presiden, tapi juga tidak memicu kepanikan publik. Yang tak kalah pusing ketika Trump menyindir pemimpin negara sahabat dengan bahasa sarkastik. Tugas jubirlah yang harus mengubah cuitan itu menjadi “kritik konstruktif” di depan media. Hal ini seperti menari di atas tali yang setiap detik bisa putus.
Di balik layar, yang terjadi sebenarnya adalah chaos yang tak terlihat. Rapat darurat diadakan sambil berdiri, draft pernyataan diketik cepat di iPhone, dan juru bicara berlatih menjawab pertanyaan dengan 10 skenario berbeda, karena siapa tahu, 10 menit sebelum konferensi, kebijakan bisa berubah lagi.
Akan tetapi di tengah semua itu, ada ironi yang pahit terjadi. Justru dalam ketidakpastian, peran Public Relations (PR) menjadi semakin krusial. PR adalah buffer antara keputusan impulsif manajemen dan publik yang bingung. Ketika Trump mengancam menutup pemerintah AS hanya karena anggaran tembok Meksiko tidak disetujui, Jubir harus menjelaskan kepada wartawan bahwa “ini bukan krisis, tapi strategi negosiasi.” Saat Trump menyatakan “kita bisa menyuntikkan desinfektan ke tubuh pasien Covid,” tim komunikasi harus bekerja sama dengan ahli medis untuk mengklarifikasi tanpa membuat presiden terlihat bodoh.
Inilah dunia di mana kecepatan mengalahkan kesempurnaan. Setiap detik, reputasi organisasi bisa runtuh karena satu tweet yang tidak terjawab. Tapi di sisi lain, dinamika ini melahirkan kreativitas tak terduga: PR belajar membangun narrative agility, kemampuan memelintir narasi dalam hitungan menit. Misalnya, mengubah kebijakan proteksionis Trump menjadi “upaya menyelamatkan pekerja Amerika” atau mengemas retorika anti-globalisasi sebagai “patriotisme ekonomi.”
Namun, beban mentalnya nyata. Stres karena harus selalu on call, takut salah interpretasi, atau menjadi target kemarahan publik ketika kebijakan berubah. Tapi di balik kekacauan, ada pelajaran besar: dunia PR tidak lagi linear. PR seperti SEQARA Communications harus gesit, lentur, dan siap menerjang badai krisis yang datang dari dalam sendiri. Bagi yang bertahan, mereka tidak hanya menjadi ahli komunikasi, tapi juga illusionist; penyihir yang bisa mengubah kebingungan menjadi koherensi, dan kontradiksi menjadi cerita yang nyaris masuk akal.
Mungkin suatu hari, sejarah akan mencatat era ini sebagai masa di mana PR tidak lagi sekadar public relations, tapi permanent reaction – sebuah .
Penulis: Aryo Meidianto