Fenomena Maskot KFC Hampir Jadi Karakter Game Fighting
Beberapa bulan lalu, dunia maya dihebohkan oleh pengakuan seorang fighting game developer Katsuhiro Harada yang memiliki ide untuk menjadikan maskot Kentucky Fried Chicken (KFC), Kolonel Sanders, menjadi salah satu karakter dalam game Tekken terbaru. Berita ini tentu saja menimbulkan sebuah pertanyaan, mengapa sebuah maskot brand fast food bisa menjadi sepenting itu? Lebih jauh lagi, maskot KFC tersebut mampu bertumbuh di luar fungsinya sebagai alat marketing semata, bahkan bisa menjadi brand ambassador.
Mengapa maskot penting dalam membangun atau mengelola brand? Pertama, maskot tidak hanya mencerminkan kepribadian merek yang diwakilinya, tetapi juga menambah sentuhan kreatif dan emosional bagi target sasar sebuah brand. Dengan cara ini, maskot dapat meningkatkan brand awareness secara efektif. Kedua, maskot itu unik karena karakter atau penampilannya. Seringkali keunikan ini mendatangkan kesetiaan konsumen karena merasa ‘relate’ dengan maskot tersebut. Ketiga, maskot akan tetap hidup, berapapun usia perusahaan atau mereknya. Karakteristik maskot ini dapat menjadi investasi brand yang bersifat selamanya sehingga tidak selalu perlu bekerja sama dengan seorang figur terkenal untuk melakukan promosi atau mengkomunikasikan pesan merek.
Ada beberapa fKembali ke laptop. Bagi mereka yang memahami budaya populer Jepang, berita maskot KFC Kolonel Sanders yang akan dipakai sebagai karakter di game Tekken tidaklah mengejutkan. Pasalnya, popularitas KFC beserta maskotnya telah terbentuk puluhan tahun sejak jaringan restoran cepat saji asal Amerika Serikat tersebut pertama kali beroperasi di Jepang pada tahun 1970-an.
Jepang sebagai negara industri yang tetap memegang teguh akar budayanya, telah mempengaruhi sejumlah kebijakan dan tentu saja strategi pemasaran sebuah brand. Terutama bagi brand yang berasal dari luar Jepang, seperti KFC.
Hingga saat ini, KFC identik dengan makanan wajib dalam merayakan Natal di Jepang. Dua hal menarik, makanan wajib dan Natal. Berdasarkan Statista, 48,6% mayoritas penduduk Jepang menganut Shintoisme. Disusul dengan penganut Buddha yang mencapai 46,4%. Sementara hanya 1,1% saja yang mengaku beragama Kristen dan sisanya kurang lebih 4% menganut agama-agama lain.
Dari statistik di atas, seharusnya Natal bukanlah sebuah hari penting di Jepang. Namun dalam kenyataannya, meskipun bukan hari besar nasional, Natal justru dirayakan di seluruh pelosok Jepang. Gegap gempitanya setara dengan perayaan Tahun Baru ataupun Halloween.
KFC, melalui promosi paket Natal yang diluncurkan tahun 1974, kemudian menjadi sebuah budaya pop baru di kalangan anak muda dan keluarga Jepang saat itu. Budaya tersebut bahkan bertahan hingga sekarang.
Hal ini juga berpengaruh pada popularitas maskot KFC, yang merupakan personifikasi dari sang pendiri, Kolonel Harland Sanders (1890–1980), seorang pengusaha yang mulai menjual ayam goreng dari restoran pinggir jalan di Corbin, Kentucky. Masyarakat Jepang mengenalnya sebagai Kentucky no Ojisan, atau the Old Man Kentucky.
Menariknya, meskipun tidak umum, banyak yang sengaja menganggap bahwa Kolonel Sanders adalah Santa Claus versi Jepang. Secara tak sengaja atau sekedar kesalahpahaman, mereka memadukan dua karakter yang identik dengan Natal di Jepang tersebut, karena kesamaan fitur pada wajah.
Kolonel Sanders sangat populer, karena pendekatan strategi localized, di mana Sang Kolonel juga kerap didandani dengan pakaian-pakaian tradisional Jepang. Satu yang terkenal adalah baju zirah ala Samurai. Gegara inilah kemudian lahir sebuah karakter baru yang diberi nama Musha Colonel atau Kolonel Samurai. Biasanya karakter ini akan menghiasi pintu masuk gerai-gerai KFC untuk menyambut para pelanggan.
Terkait kepopuleran Sang Kolonel, KFC membuat gebrakan menarik pada tahun 2019. Alih-alih memasarkan CD musik seperti gerai-gerai di Indonesia, mereka justru mengembangkan sebuah game simulasi kencan berjudul “I Love You, Colonel Sanders! A Finger Lickin’ Good Dating Simulator”. Game ini dikembangkan bersama Psypop dan tak disangka mendapat respon positif di platform Steam.
Sekedar informasi, game ini didistribusikan secara global alias tidak hanya untuk pasar Jepang semata. Meskipun jika ditilik dari storytelling, art/grafis dan jenis game-nya, maka akan mengingatkan kita pada budaya populer Jepang.
Tidak heran ketika sutradara game Tekken yang merupakan IP milik Bandai Namco, tertarik untuk memasukkan karakter Kolonel Sanders ke dalam game buatannya. Selain melihat ada celah dan kemungkinan untuk mengajak KFC berkolaborasi dalam game baru, ide ini juga muncul ketika pihak developer telah memastikan sebuah stage baru di game tersebut. Stage baru tersebut identik dengan dunia kuliner, bernama The Waffle House.
Sudah bisa ditebak, KFC menolak usulan tersebut. Baik Harada maupun KFC tidak memberikan banyak pernyataan terkait hal ini. Namun seorang anggota tim game developer Tekken, Michael Murray memberikan bocoran sekaligus dugaan, bahwa penolakan KFC terkait genre game.
Tekken merupakan game dengan genre fighting, yang tentunya akan menampilkan adegan kekerasan, Hal ini disinyalir sebagai satu alasan kuat, mengapa KFC yang dikenal sebagai produk keluarga menolak untuk diwakilkan Kolonel Sanders dalam game tersebut. Bagaimana menurut Anda?
Jepang, dengan budayanya, memang terkenal mampu mengubah arah bisnis dan kebijakan. Kita lihat saja bagaimana brand Amerika seperti Lawson, kini menjadi brand konbini yang identik dengan Jepang.
Tren lain adalah desain ponsel di awal 2000-an. Kecenderungan masyarakat Jepang yang banyak menggunakan ponsel di keramaian, terutama transportasi umum, menjadikan ponsel bentuk clamshell lebih diminati. Bahkan ketika desain produk ponsel mulai beragam, ponsel di Jepang akan tetap berbentuk cangkang kerang, yang mampu menyembunyikan layar utama di balik lipatan.
Bahkan ketika masuk periode smartphone yang desainnya hampir seragam, membentuk batangan coklat tipis dengan bagian layar yang mendominasi, masih ada saja hal unik, yang hanya ada di Jepang. Semisal bunyi shutter kamera yang tidak bisa dimatikan, yang hanya khusus untuk ponsel yang beredar secara resmi di Jepang.
Penulis: Ahmad San