Belajar Public Speaking dari Kasus Pejabat: Cara Bicara Tegas Tanpa Bikin Rusuh

Akhir-akhir ini, publik dihebohkan oleh sederet pernyataan kontroversial dari pejabat pemerintah yang justru menuai kritik. SEQARA Communications mencatat salah satu contoh yang mencolok adalah pernyataan Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer, yang mengeluarkan ungkapan yang dianggap tidak sensitif. Dalam konteks keluhan masyarakat mengenai kualitas hidup di Indonesia, ia dengan tegas mengatakan, “Mau kabur, kabur sajalah. Kalau perlu jangan balik lagi.” Pernyataan ini tidak hanya mengejutkan banyak orang, tetapi juga memicu reaksi keras dari publik. Banyak yang merasa bahwa ungkapan tersebut menunjukkan ketidakpedulian terhadap mereka yang berjuang untuk mencari nafkah dan memperbaiki kehidupan di tanah air.
Di sisi lain, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, juga membuat pernyataan yang menimbulkan kontroversi. Ketika jurnalis Tempo menerima kiriman kepala babi tanpa telinga sebagai bentuk teror, Hasan memberikan respons yang dianggap meremehkan situasi serius tersebut. Ia berkata, “Sudah dimasak aja, kepala babi dimasak aja… artinya dia tidak terancam kan.” Komentar ini menimbulkan kemarahan di kalangan masyarakat dan jurnalis, karena dianggap tidak menghormati ancaman terhadap kebebasan pers dan situasi yang dihadapi oleh rekan-rekan jurnalis.
Dari kedua kasus ini, kita bisa melihat bahwa kesalahan utama terletak pada kurangnya empati dan pemilihan kata yang tidak tepat. Dalam upaya untuk terlihat tegas atau santai, para pejabat ini justru mengabaikan dampak sosial dari ucapan mereka. Public speaking bukan hanya tentang menyampaikan pendapat dengan lantang; lebih dari itu, ia melibatkan pemilihan kata yang bijaksana agar pesan dapat diterima dengan baik oleh audiens yang beragam.
Dalam dunia yang semakin terhubung ini, setiap ucapan bisa dengan cepat menjadi viral dan dipotong dari konteksnya. Oleh karena itu, penting bagi para pejabat untuk lebih berhati-hati dalam berbicara. Mereka perlu memahami bahwa setiap pernyataan memiliki potensi untuk mempengaruhi persepsi publik. Menguasai materi secara mendalam sebelum berbicara adalah langkah awal yang krusial. Hal ini akan membantu mereka menghindari kesalahpahaman dan klarifikasi yang tidak perlu.
Selain itu, melatih empati juga sangat penting. Sebelum menyampaikan pendapat, para pejabat harus mempertimbangkan perspektif audiens. Apa yang mungkin terdengar biasa bagi mereka bisa jadi sangat sensitif bagi orang lain. Dengan bertanya pada diri sendiri bagaimana pernyataan mereka akan diterima oleh berbagai kelompok masyarakat, mereka dapat menghindari konflik dan meningkatkan kualitas komunikasi.
Public speaking yang baik bukan tentang menghindari kritik atau menjadi ‘aman’, tetapi tentang menyampaikan pesan dengan cara yang membangun dan positif. Jika para pejabat bisa belajar dari kesalahan ini dan berkomitmen untuk berkomunikasi dengan lebih bijaksana, maka bukan hanya citra mereka yang akan terjaga, tetapi juga kepercayaan publik terhadap institusi yang mereka wakili akan semakin kuat. Dalam dunia komunikasi modern ini, kemampuan untuk berbicara dengan tegas tanpa menimbulkan kerusuhan adalah seni yang sangat berharga dan perlu dikuasai oleh setiap pemimpin.
Penulis: Aryo Meidianto